We Can't Have It All
Walaupun saya tahu tidak ada hidup yang sempurna, tapi hari ini saya benar-benar memahaminya.
Good news, saya hamil setelah 3 tahun menikah.
Saya tidak pernah mengalami keguguran dan sejauh ini kehamilan saya aman-aman saja.
Saya tidak merasakan mual atau sakitnya untuk bertahan hidup.
Tidak juga mengalami ngidam.
Saya melalui semuanya dengan mudah.
Rasanya seperti menstruasi dengan level 2.
Saya tidak menjalani promil dan tidak mengusahakan kehamilan ini, istilahnya saya 'chill' dikasih alhamdulillah, belum dikasih juga alhamdulillah.
Namun ortu saya sangat mendambakan cucu. Di antara 2 anaknya, saya yang dikasih lebih dulu meski pun saya menikah setelah dilangkahi adik saya. Qodarullah, istri adik saya mengalami keguguran 2x padahal menurut saya mereka lebih siap dan matang secara finansial. Semoga setelah ini mereka dikaruniai keturunan.
Saya tinggal bersama ortu, selama kehamilan ibu saya sangat peduli dan merawat saya. Setiap hari saya dibuatkan bekal untuk kerja. Ayah saya menyiapkan motor saya sebelum berangkat kerja. Memasuki usia 5 bulan ini ayah mengantar saya setiap hari ke halte bus terdekat. Setiap saya ingin makan sesuatu, ortu saya membelikan (tentu dengan uang saya).
Teman-teman kerja saya sangat suportif. Acapkali teman seruangan saya bawakan makanan enak untuk saya dan dedek di perut. Teman yang lain bahkan mau antar jemput saya ke halte terdekat dari kantor.
Keluarga mertua saya juga sangat peduli. Saat 4 bulanan mereka membawa banyak bingkisan. Mereka sangat perhatian kepada saya.
Tapi ujiannya terletak di mana?
Saya LDM dengan suami. Saya berekspektasi lebih. Tapi suami tidak bisa mewujudkan. Suami saya baik, dia menghadiahi saya smartwatch begitu mengetahui kehamilan saya dan berdekatan dengan hari ulang tahun saya.
Awal-awal juga dia sangat perhatian. Selalu menanyakan apa saya sudah sampai rumah. Dia juga membayar vitamin hamil yang saya check out di e-commerce. Dia mengganti biaya USG saya di RS yang cukup mahal.
Namun sampai dengan usia kehamilan 22 minggu dia tidak menyempatkan pulang untuk menengok saya atau menemani saya kontrol kehamilan. Perhatiannya pun memudar. Dia sudah jarang menanyakan keadaan saya. Sudah jarang video call. Bahkan ketika saya update atau mengeluh tentang apa yang saya rasakan, dia mengabaikannya.
Gong nya hari ini, 4 September hari yang saya tunggu untuk kepulangannya, dia batal pulang dengan alasan yang tidak bisa diterima oleh saya. Terlalu dibuat-buat dan seolah tidak memprioritaskan dirinya untuk pulang.
Saya lelah dengan harapan saya untuk diperlakukan lebih baik.
Rasanya ingin mati. Saya merasa bersalah pada anak yang saya kandung karena harus mengalami ini.
Komentar
Posting Komentar